RadiusNews, Minahasa- Perbincangan tentang perempuan diruang publik sangatlah menarik dan tidak akan habisnya. Begitulah mahakarya keindahan Tuhan yang termanivestasi dalam dirinya. Ada rasa kasih sayang, kelembutan, emosional dan bahkan kemarahan yang menyelimuti dirinya. Namun ketika kita coba merenung sejenak dan memahaminya maka kita akan jumpai termaktup makna keindahan alam semesta dan wujud ke Tuhanan dalam dirinya. Begitu ungkapan dari seorang sufi termasyhur Jaluddin Rummi “Keindahan semesta dan mahakarya Tuhan telah termanivestasi dalam diri perempuan”.
Saya Mengawali narasi kritis telaah filosofis tulisan saya ini, dengan untai kata-kata bijak diatas, untuk menelisik keuletan perempuan jawa tondano atau saya menyembutnya sebagai cermin mata air keteladan. Kenapa kemudian saya memberi makna keteladan? karena saya jumpai pada sosok perempuan kampung jawa tondano dalam tradisi lebaran ketupak. Kerap saya melihat sifat Kegigihan, ketekunan, kesabaran bahkan kelembutan kasih saying dan menghormati tamu. Semua itu, termanivestasi dalam diri mereka. Pasalnya, Semua itu didasari dengan semangat tradisi punggung dan perayaan ketupak sebagai manivestasi wjud kebersamaan, perekat sosial dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan universal sekaligus diikat dengan pranata sosial yang tersimpan dalam filosofi Minahasa “Situo Timou Tumou Tou” yang artinya manusia hidup untuk saling memanusikan manusia. Dan yang tidak kala pentingnya, ialah mereka masih berpegang teguh pada falsafah hidup Mba-mba mereka yakni; “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”. Hemat saya, ini pesan mercesuar yang syarat makna humanisasi atau kemanusiaan universal dan kesholehan spiritual tanpa membedakan ras, etnik, komunitas, agama dan sektarianisme identitas. Senada dengan makna kemanusiaan yang diungkapkan oleh seorang penyair termasyhur dan sosok pejuangan revolusi kemanusiaan india yakni; Mahatma Gandhi, “Apabila disitu ada cinta dan kemanusiaan maka akan tumbuh maknum opsur atau peradaban umat manusia”.
Ingat, Bukan berarti saya mengabaikan perempuan lainnya. Namun saya kerap jumpai ketika berinteraksi dengan mereka sifat keuletan, kesabaran, kelembutan tutur kata begitu indah dalam menerjemahkan ketupat. Mungkin ini hanyalah prespektif subjektif namun bagi saya, itulah potret keuletan perempuan kampus jawa tondano generasi kyai modjo yang hendak saya gambarkan dalam narasi saya ini.
Pasti banyak yang belum mengenal khikayat dan menyilami sosok perempuan-perempuan jawa tondano dan makna tradisi lebaran ketupak yang menyimpan syarat makna universal dikota nyiur melambai sulawesi utara ini? Lantas siapa itu perempuan jawa tondano? Ada apa dengannya? dan bagaimana makna dalam tradisi lebaran ketupak itu?. Saya mengawali tulisan saya ini dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis diatas sehingga kita bisa menelaah secara kritik, objektif, sistematis dan artikulatif dalam memahami narasi sederhana saya ini.
Siapa Itu Perempuan Jawa Tondano?
Cikal bakal lahirnya generasi kyai modjo (Muslim Muchammad Chalifah) secara geneologi dari ayahnya bernama Imam abdul arif atau lebih dikenal dengan sebutan kiyai baderan ia juga dinobatkan sebagai alim ulama terkenal pada masa kerajaan pajang. Sedangkan ibunya bernama Raden Ayu atau biasa disapa Kiay modjo. Sepeninggalan ayahnya pada sekitar tahun 1820, dikuburkan didesa modjo tegalrejo Boyolali jawa tengah. baca: Catatan Sejarah Perang diponogoro (Basuki heru, 2007).
Sepeninggalan ayahnya Kyai Modjo melanjudkan tugas ayahnya sebagai guru agama dipondok pesantren Modjo. Dimana banyak putra dan putri kraton solo belajar dipesantren tersebut. Ia dijuluki oleh masyarakat pada saat itu sebagai panglima perang dan penasehat agama. Kyai Modjo menikah dengan R.A Mangubumi seorang janda cantik cerai dari pangeran mangkubumi paman pangeran diponegoro dank arena perkawinan inilah panggilan kyai Modjo dengan seputan paman meskipun dari ayah Kyia Modjo kemenangan pangeran diponegoro. Karena Ibu Kyia Modjo (R.A Marsilah) adalah sepupu dipanegoro. Dari pernikahannya dengan R.A Mangubumi inilah konon menghasilkan anak keturunan dua namun yang satunya meninggal dunia dimekah sedangkan satu anaknya ikut bersama ayahnya Kyia Modjo hijrah ketondano. Ia bernama Gazaly. Saya menguraikan geneologi silsilah ini tidak secara begitu gamlang namun hanya singkat karena ada sumber oententik yang yang dimiliki keterunan keluarga Kyia Modjo masih tersimpan dan beberapa sumber lainnya telah meninggal dunia.
Sebagai generasi muda yang berkarir didunia jurnalis dan gerakan advokasi kemanusiaan dan kebudayaan saya berkenginan besar untuk menjelaskan secara jelas namun karena kendala sumber lainnya sehingga hanya beberapa uraian singkat yang saya tuliskan dalam narasi saya ini. Namun harapan saya bisa menjadi inspirasi dan pencerahan untuk kita semua. Dari dasar pikir diatas itulah yang membentuk keturunan Kiyai Modjo dan kita bisa mengenal sosok perempuan kampung jawa tondano. Mereka telah hidup dengan akulturasi budaya antara jawa dan tondano yang membentuk diri mereka secara sederhana, ulet, sabar, sopan tutur katanya dan baik moralnya. Ada yang menarik pada anak keturuan Kyia Modjo. Ada nilai Falsafah hidup yang selalu ditanamkan kepada Mba-Mba mereka atau Tetua mereka yakni; “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”. Pesan-pesan filosofis inilah, yang merepsentasi sosok perempuan kampung jawa tondano sebagai air mata keteladanan dalam segala hal dan ciri khas yang membedakan dirinya dengan perempuan diluar kampung jawa tondano.
Dalam kehidupan interaksi sosial perempuan jawa tondano tidak bisa sembarang begitu saja, ada adab dan nilai yang mereka jaga, hormati. Junjung tinggi. Kesopanan, keuletan, ketekunan, kesabaran dan tutur kata yang lembut itu mewarnai karakter mereka yang hidup dan lestari sampai saat ini. Itulah kenapa perempuan jawa pada umumnya dan kampong jawa tondano menyinari mata air keteladanan bagi masyarakat Nyiur melambai Sulawesi utara. Nilai-nilai tersebut kita jumpai juga dalam tradisi local masyarakat pada umumnya. Namun berjalannya waktu mengalami pergeseran etos kebudayaan. Tapi bagi perempuan jawa tondano nilai-nilai tersebut terpatri, dalam pola laku, sikap dan cara berfikir mereka membentuk mereka sebagai perempuan dambaan sebagian kaum lelaki. Ada tradisi yang ditanamkan oleh orang tua mereka yakni : “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”. Nilai tersebut yang menjadi ruh perilaku mereka yang dibingkai dengan dua modalitas yakni Ilmu dan iman ialah satu dimensi penting yang senantiasa harus dijaga dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Barang siapa ingin menginginkan kebahagian dunia, maka tuntutlah Ilmu dan barang siapa ingin kebahagian akhirat, tuntutlah Ilmu. Dan barang siapa ingin keduanya maka tuntutlah ilmu”.
Makna Filosofis Tradisi Lebaran Ketupak Pada Masyarakat Kampung Jawa Tondano
Tradisi ketupak bagi masyarakat jawa tondano secara filosofis mengandung arti; memperkuat silaturahmi seperti tergambarkan dalam makna anyaman ketupak yang terbuat dari janur atau daun kelapa. Bagi masyarakat jawa tandano bentuk segi empat pada ketupak memiliki makna kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai symbol empat penjuru mata aingin, yakni; Timur, barat, selatan dan utara. Artinya kearah manapun manusia akan pergi ia tidak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau kiblat dalam sholat. Terlepas dari itu semangat filosofis dari perayaan hari raya ketupak menyimpan makna yang universal yakni sebagai wujud kebersamaan, toleransi, dan keakraban sosial bagi masyarakat yang ada dikampung jawa tondano untuk saling bersilaturahim.
Menurut Herman Johanes De Graaf seorang sejarawan belanda yang otoritatf dan spesifikasi menulis sejarah jawa ia mengatakan bahwa ketupak diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh sunan kalijaga. Ia merupakan penyebar agama Islam dipulau jawa. Untuk memperkanalkan Islam dinusantara ia kerap membawa tradisi yang cikil bakal disebut sebagai hari raya ketupak setelah usai bulan ramadahan dan hari raya idul fitri bagi masyarakat jawa pada masa itu. Sehingga mengakar kemasyarakat jawa pada umumnya tanpa terkecuali masyarakat dikampung jawa tondano. Namun ada beberapa referensi yang menguatkan sejarah lahirnya perayaan hari raya ketupak bagi masyarakat jawa. Berdasakan penelitian dari H.J De Graaf dalam buku “Malay Annual”. Ia mengungkapkan bahwa munculnya hari raya ketupak pada masa kesultan demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupak tersebut terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang tumbuh banyak pohon kelapa dan mengindentik etos kebudayaan masyarakat.
Masyarakat jawa tondano menyebut mereka sebagai niyaku toudanto (saya orang tondano. Sebagai bagian dari masyarakat tondano, orang kampung jawa tondano sangat menjunjung tinggi nilai falsafah “Sitou Timou Tumou Tou”. yang berarti manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain. Dari semangat falsafah inilah, masyarakat jawa tondano dalam perayaan hari raya ketupak mengimplemtasi nilai-nilai toleransi, saling membangun keakrab dengan sesame tanpa membedakan ras, agama bahkan identitas. Semua masyarakat dijawa tondano menyatu secara harmonis dan setara. Tercermin Nampak ketika keluarga agama Kristen yang ada ditondano pun diundang untuk menikmat kebersamaan dalam hari raya ketupat tersebut. Semoga narasi sederhana saya ini, bisa memberikan kado terindah dan inspirasi pencerahan dan mercerdaskan bagi generasi Kyia Modjo dan orang jawa tondano khususnya untuk melestarikan sejarah dan kearifan lokalnya sebagai jon lokus peradaban. Dan untuk khalayak umum untuk menjaga mata rantai sejarah dan sosiocultul kita sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai etos kebudayaan yang tinggi dan beragama. “Orang boleh pantai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah”. (Pramodya Ananta Toer).
Penulis: Rusmin Hasan (Pegiat Literasi Sulut).